Tak jauh dari keriuhan suasana kampus, sebuah rumah sederhana dengan halaman sedikit gersang membuat mahasiswa penasaran ketika melewatinya. Di depan sebuah gang kecil yang hanya cukup dilewati sebuah motor, anak-anak berlarian keluar masuk sebuah rumah bilik sederhana dengan halaman cukup luas disertai kolam ikan yang kering. Terletak di jalan Manisi Lio Utara Gg Bakti, tepatnya di belakang asrama perempuan Al Jamiah UIN Sunan Gunung Djati Bandung, sebuah rumah kosong dimanfaatkan mahasiswa Bandung untuk berkegiatan belajar mengajar bersama anak-anak di lingkungan sekitar.
Diberinama komunitas Rumah Kita, beberapa mahasiswa yang mengatasnamakan dirinya sebagai relawan hadir untuk mengajak anak-anak berfantasi di rumah bilik yang sangat sederhana. Tak ada yang istimewa,hanya beralaskan papan dan dinding dari bambu yang sudah mulai rapuh karena sering terkena air hujan. Sebuah pohon cukup besar berdiri disana, pohon jambu yang nampak tua dengan banyak sekali sarang lab-laba menyarang.
Menjelang sore hari, halaman rumah nampak lebih ramai. Sebuah musik terdengar dari speaker yang dinyalakan seorang mahasiswa ITENAS, Ashar Putra Prasetyo, yang memiliki tubuh tinggi dan besar. Di sisi lain terdapat beberapa anak beserta mahasiswi-mahasiswi sedang menari-nari mengikuti alunan musik yang terdengar dari speaker tadi. Memasuki ke dalam rumah, nampak beberapa buku bergeletakan usai dibaca oleh beberapa anak yang tak lama kemudian berkejaran kesana kemari. Ayunan sederhana yang terbuat dari tali menggantung di batang pohon, yang tempat duduknya terbuat dari tutup ember bekas pun tak luput dari rebutan anak-anak usia sekolah dasar. Begitu juga dengan jungkat jungkitnya yang nampak sudah berbahaya, lebih dari 4 orang menaikinya.
Hampir setiap hari di waktu senja kegiatan yang sama berulang. Seolah menjadi pusat bermain anak-anak di lingkungaan jalan manisi, mereka dengan semaunya bermain di halaman rumah bilik sederhana. Komunitas Rumah Kita sengaja membiarkan anak-anak berlari kesana kemari dan bermain sesuka hati, atau belajar menari hingga membaca buku semaunya. Mereka begitu berharap rumah sederhana ini bisa menjadi lahan bermain dan juga belajar bersama.
Sejak tahun 2013 lalu, sebuah rumah milik warga Sukaasih, Ass Holisoh yang juga sebagai taman kanak-kanak ditempati oleh beberapa mahasiswa yang begitu khawatir melihat pergaulan anak-anak masa kini. Keberadaan teknologi dan gadget yang seman=kin mudah didapatkan anak-anak menjadi ketakutan tersendiri bagi mereka melihat generasi masa depan. Kebiasaan anak-anak dari keluarga menengah kebawah yang seringkali pergi kewarnet sepulang sekolah menjadi hal yang tak aneh bagi mereka. Sesekali mereka mengajak anak-anak yang mereka temui untuk bergabung bersama mereka di rumah bilik.
“Ya sekarang kan anak anak jaman sekarang mainnya ke warnet, motor-motoran, nonton tv kadang gak jelas ya. Kita pengen mereka semua beralih ke hal yang lebih bermanfaat”, kata salah seorang founder komunitas rumah kita, Ida Maratul Fitri, yang masih berkuliah di UIN SGD Bandung.
Perjalanan untuk menjadikan rumah bilik sebagai tempat yang leluasa dipakai sebagai ruang fantasi anak-anak ternyata tak mudah dilalui begitu saja oleh Ida dan kawan-kawan. Turunnya semangat relawan dan keharusan untuk berpindah-pindah tempat karena adanya miskomunikasi harus dijalani mereka. Lebih dari 3 tempat yang tak jauh dari lingkungan kampus mereka jadikan pusat bermain anak-anak, namun pada Agustus lalu, mereka hanya fokus pada satu rumah saja, kembali ke rumah bilik yang sudah dipenuhi rumput liar dan serangga-serangga berbahaya ketika harus ditinggalkan Juni 2013 lalu.
“Sempet pundah-pindah sih beberapa kali dan buka rumah yang sama juga, tapi lokasinya yang jauh dari kampus bikin rellawannya makin berkurang dan kita kekurangan tenaga, sedih juga ya tapi akhirnya kita bisa pakai rumah ini lagi dan bias belajar sana,a ank-anak lagi”, cerita Ida pada Republika.
Saat ini lebih dari 30 relawan yang berasal dari beragam universitas di Bandung tergabung di komunitas ini. Setiap Senin, Rabu dan Jumat beberapa dari mereka yang memiliki waktu luang datang untuk bertemu dengan anak-anak dan saling berbagi ilmu. Salah satunya Fitry Apriyanti yang fokus mengajari tarian tradisional, seperti tari merak, jaipong dan sarimpi. Fitry yang pernah bergabung dalam sebuah sanggar nari, berniat untuk menyalurkan bakatnya kepada anak-anak yang minat terhadap seni tari.
Berkat dukungan dari masyararakat sekitar, kata Ida tidak sulit untuk mengajak anak-anak belajar di rumah bilik itu. Meski masih ada beberapa anak yang tak mau ikut bergabung karena lebih tertarik dengan kebiasaan bermain internetnya, ida mengaku takan memaksa. Komunitas Rumah Kita, kata Ida hanya memberikan ruang untuk mengisi kesaharian anak-anak sesuai dengan keinginan mereka.
Seperti namanya, Rumah Kita. Nama tersebut sengaja diberikn untuk menyampaikan bahwa rumah yang mereka datangi bisa dianggap sebagai rumah mereka sendiri. Rumah bagi anak-anak yang ingin belajar dan rumah bagi para mahasiswa yang ingin berbagi ilmunya.
“Siapa saja boleh datang kesini. Mau kaya atau miskin, mahasiswa atau pekerja, silahkan datang ke Rumah Kita”, pungkas Ida.
(Hilda)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar