Teriakan suara anak begitu lantang terdengar. Saling menjerit satu sama lain, merebut apa yang mereka mau dan berlari apa yang mereka kejar. Hembusan angin yang sedikit mengencang karena menjelang malam tak membuat anak-anak itu lelah dan berhenti bergembira dalam gerak mainnya. Terasa lebih sejuk juga menyanangkan ketika angin mulai berhembus melewati sisi wajah mereka. Mengibaskan rok pendek yang dipakai anak-anak perempuan dan membuat mereka berhenti berlari sambil berteriak merasa takut terlihat oleh teman laki-laki lainnya.
Zahra, anak dengan kuncir dua dikepala, terjatuh ketika menghindar dari angin kencang yang menghembuskan rok yang begitu manis dipakainya. Seketika geliat tawa teman-temannya terdengar begitu nyaring di telinganya. Sontak saja ia merasa malu dan menyesal mengapa ia bisa terjatuh. Yang kemudian membuatnya berlari kencang menuju rumahnya yang tak jauh dari halaman kecil yang sengaja dibuat oleh lingkungan setempat untuk anak-anak bermain.
Mariam, begitu panggilan akrab yang biasa digunakan oleh tetangganya. Wanita muda berkulit putih ini nampak serius memperhatikan anaknya, Zahra yang murung sedari pulang bermain bersama teman-temannya. Ia merasa sedikit heran dengan tingkah Zahra yang berubah beberapa hari ini. Umurnya masih 5 tahun, namun ia sudah bisa menampakan kekesalan dan kemarahannya pada semua orang.
“kamu kenapa lagi nak? Ayo cerita sama ibu, apa kamu dijaili teman-temanmu?” tanya Mariam dengan begitu lembutnya.
“ini semua salah ibu!! Harusnya ibu nemenin Zahra main, jadi ibu bisa belain Zahra! Zahra sebal sama ibu!’’ jawab Zahra dengan nada tinggi sambil berlalu ke ruang tengah.
Mariam hanya bisa mengeleng kepalanya. Ia selalu bingung tiap kali zahra marah padanya sedangkan ia sama sekali tak berbuat apa apa. Mungkin tepatnya ia lebih merasa tak bisa berbuat apa-apa untuk zahra.
Setiap paginya Zahra hanya meminta ibunya untuk mengaretkan rambutnya seperti kuncir kuda atau kepang dua pada rambutnya. Tanpa merengek banyak hal yang dipahami Mariam agar Zahra tak merasa kecewa padanya.
Memberikan semangkok bubur ayam dengan bawang gorang tanpa kecap diatasnya. Mariam selalu merasa anaknya adalah yang paling pintar, meski terkadang nakal dan sulit dipahami ia tak pernah meminta siapapun utntuk menyuapinya makan, bocah gembul yang juga hobinya makan selalu semangat setiap kali melihat bubur tersedia untuknya.
Duduk manis di depan televisi sambil menelan bubur favoritnya sampai habis.
Mariam ingat saat beberapa waktu lalu ia menemani anaknya bermain di halaman. Sedikit menyesal setiap kali ia mengingatnya. Betapa ia tahu anaknya kesal dan marah saat ia temani bermain. Padahal hanya itu yang sedari dulu ia inginkan sampai merengeknya hari ini. Tapi tetap saja, apa yang dilakukan Mariam salah dimata Zahra. Mariam lebih senang berdiam diri dirumah, menatap jendela menunggu anaknya pulang bermain dan bisa menyentuhnya kembali sambil sesekali bertanya kisah bermainnya.
Di saat yang sama gurat senyum zahra terlihat begitu alami. Matanya yang sedikit sipit tetap berusaha konsentrasi dengan Tom ang Jerry di televisi, salah satu kartun yang bisa membuatnya tertawa dan lupa dengan kisah bermain dan lainnya.
Dalam lamunannya menuju minggu lalu.
Zahra tampak begitu gembira seperti biasa menghabiskan semangkok bubur yang sudah disediakan mariam pagi itu. Dengan kuncir dua dikepala sambil duduk menghadap layar televisi. Zahra tersenyum dan begitu antusias bercerita tentang kisah bermainnya saat mariam sedang tak ada di rumah. Saat itu pula lah zahra mengajak Mariam pergi ke luar rumah menemuinya dengan teman-teman. Mariam mengira itu ide yang bagus, ia bisa sambil menjemur diri dari rasa dingin yang menginap dalam tubuh lemasnya.
Hanya berdua, hanya Zahra dan Mariam yang tahu. Tubuh mungil Zahra tak sepadan dengan semangat dan kekuatannya saat mendorong kursi yang diduduki Mariam. Ya kursi, kursi roda. Mariam wanita cantik yang seketika lumpuh karena kecerobohannya di kamar mandi dua minggu lalu. Pada akhirnya harus menerima kaki yang sama sekali tak bisa digunakan. Dokter memang tidak mengvonis wanita malang ini akan lumpuh selamanya, namun dokter tak tahu kapan mariam akan pulih dan bisa berjalan kembali. Semua hanya bisa menunggu.
Berjalan menghampiri teman-teman yang sudah mulai berlari saing mengejar di halaman, bersama Mariam yang tetap duduk manis di pangku kursinya. Semakin lama, semakin cepat Zahra berjalan, semakin kencang laju roda yang memtar dibawah kursi serba guna mariam.
“Pelan-pelan nak! Hati-hati nanti jatuh”, tegas Mariam pada Zahra.
Seketika wajah Zahra cemberut bertanda kecewa dengan apa yang didengarnya. Anak manis ini tak suka di bentak dan disalahkan, ia hanya menekuk wajahnya tanpa berbicara pada mariam. Sedikit demi sedikit Zahra pelankan laju rodanya, dengan wajah tanpa senyuman Zahra segera melepas jari tangannya dari pegangan dorongan kursi dan meninggalkan Mariam, ibunya.
Senyumnya kembali terlihat riang saat mika, teman yang juga bermain dihalaman memanggilnya dengan tangan melambai tanda mengajak.
“Zahra!! Cepetan kesini ayoo”, teriak Mika pada Zahra. “Nanti kalo ga cepet cepet kamu yang jadi penjahat. Kamu gak mau kan?” lanjutnya.
Entah mereka beri nama apa untuk permainan ini, mereka semua saling mengejar satu sama lain. Hompimpa untuk mencari tahu siapa prajurit yang akan beraksi mengejar para penjahat nakal yang telah mencuri mahkota dari sang raja. Sang raja yang terpilih dari hompimpah juga memiliki misi yang sulit. Memerintah para prajuritnya yang hebat dan selalu menjaga puterinya yang juga menjadi incaran para penjahat. Tak hanya duduk di kursi kerajaan, ia harus bisa menjaga diri tanpa berharap dapat perlindungan yang lebih dari para prajuritnya, karena jumlah penjahat yang tak lebih banyak dari padanya.
Zahra terpilih menjadi sang putri yang mendapati sebuah mahkota kecil terbuat dari ranting yang diikat melingkar di kepalanya. Dengan hiasan bunga kertas berwarna merah muda membuatnya terlihat lebih manis. Bersama dengan Apik yang kemudian memegang tangan Zahra untuk melindunginya dari penjahat, Apik adalah sang raja yang gelisah tanpa mahkotanya.
Dan permainanpun dimulai. Semua tiba-tiba berlari, saling mengejar dan menghindar. Sang prajurit tak henti-hentinya berusaha menangkap penjahat-penjahat itu. Sedangkan Zahra dan Apik, sang raja hanya duduk menunggu gilirannya beraksi. Disaat mereka terjaga dari kekejaman para penjahat rasa gelisah dan takut tetap menempel pada wajah keduanya. Benar saja salah satu penjahat membuatnya keget dan berlari menghindar dari kejaran penjahat itu. Tangan Apik tak lepas memegang Zahra yang ketakutan. Namun keadaan sulit dikendalikan. Halaman yang tak cukup luas untuk mereka berlari, membuat mereka harus terjebak diantara sudut pagar pembatas halaman.
Tangan Zahra terlepas dari apik. Zahra tertangkap penjahat, dan berteriak. Berusaha melepaskan diri dari para penjahat. Dan berhasil. Sang putri kabur dan meninggalkan sang raja yang terperangkap dalam istana khayalannya.
Berlari dan mencoba bersembunuyi di balik kursi roda Mariam. Ibunya hanya bisa tersenyum geli melihat anaknya bersama anak lain yang nampak pintar bersandiwara. Begitu juga dengan ibu-ibu yang lainnya yang tak bisa berhenti tertawa melihat tingkah laku anak-anak kecil itu.
“Dasar anak-anak. Kecil-kecil sudah pintar acting ya bu”, kata salah satu wanita yang berdiri di sebelah Mariam.
Zahra tetap bersembunyi dibelakang ibunya. Sampai ia melihat Fatir, si penjahat berlari menghampirinya. Zahra kaget dan bingung kemana lagi ia harus berlari. Sampai ia menggeser kursi ibunya untuk mnghalagi Fatir yang mencba menangkapnya. Dorong kanan dorong kiri dan AAAAAA.... penjahat lain membutnya kaget dan tak sengaja mendorong kursi roda ibunya lebih kencang dan terlepas dari genggamannya. Mariam pun ikut kaget dan tak bisa mengendalikan rodanya sampai ia terjatuh ke tanah karena relief halaman yang ia tempati saat itu menurun.
Semua berhenti tertawa, semua berhenti mengejar dan semua kaget.
“Bu mariam gak apa-apa? Mari saya bantu. Biar anak-anak ibu lain yang menjaga. Lebih baik ibu di rumah saja, istirahat yang banyak, biar Zahra saya yang menjaganya bermain”, usul Elis, ibu dari Fathir yang saat itu terlihat sangat khawatir.
Tenggelam dalam bayangan minggu lalunya.
Malam berganti pagi.
Sama seperti basanya. Semangkok bubur dengan bawang goreng tanpa kecap diatasnya. Sebuah televisi yang menyala dan Mariam yang duduk menunggu anaknya keluar dari kamar tidurnya. Lama menunggu Zahra tak juga keluar. Sedang apa ia, selama Mariam di dapur apa Zahra masih memilih baju untuk pergi bermain hari ini? Dasar bocah pintar, untuk bermain saja masalah pakaian lama selasai. Mariam genggam kedua sisi roda dan mendorongnya ke depan, mengarahkan lajunya ke arah kamar zahra. Dan sedikit mengibaskan gorden yang menjadi pembatas antara pkamar dengan ruang tengahnya.
Namun zahra ternyata tak ada disana. Dikamar mandi pun tak ada. Mangkok itu masih tetap di tempatnya. Apa zahra masih marah pada mariam seperti hari kemarin. Atau zahra marah karena mariam tak pernah lagi bisa menemaninya bermain diluar rumah. Atau bubur yang ia buat sudah tak nikmat lagi di lidah bocah gembul itu? Mariam segera pergi keluar rumah untuk mencari Zahra.
Benar saja Zahra sudah mulai permainannya itu. Putri raja lagi, prajurit dan penjahat lagi. Entah berperan sebagai apa ia sekarang. Namun Mariam perhatikan anaknya itu yangsedang berlari mengejar teman-temannya. Sedikit menebak.” Pasti zahra sekarang jadi penjahatnya”, bisik Mariam dalam hati. “Ah jadi apapun Zahra, anakku itu tetap menjadi putri cantik yang aku punya”, katanya lagi dengan sedikit tersenyum.
Terpisah dengan orang tua lainnya yang sedang asik mengobrol di kursi halaman pojok sana. Mariam sendirian, ia tak mau anaknya tahu jika ia mengikutinya bermain. Yang kemudian marah dan meninggalkan ibunya. Sejak kejadian ibunya terjatuh karena Zahra, ia tak mau lagi mengajak ibunya menemani bermain. Zahra tak mau lagi membuat ibunya terluka karna ulahnya. Dan ia tak mau lagi ditemani Mariam. Tanpa ia sadari betapa sepinya bermain tanpa ibunya itu. Membuatnya juga iri dengan teman-temannya yang selalu di temani ibunya yang bebas mereka apakan.
Rasa khawatir tetap menggenang dalam fikirannya. Tak biasanya zahra seperti pagi ini. Zahra tak bisa berlari dengan tenaga seadanya. Dan benar saja, Zahra terjatuh saat berlari mengejar teman-temannya. Tanpa ada yang menolognya Zahra mendapat teriakan tawa dari teman-temannya. Zahra hanya tersenyum. Begitu juga dengan para orang tua yang sedang mengobrol. Mereka menganggapnya hal yang biasa saja.
Tapi tidak, ini tak biasa. Zahra terjatuh bukan karna terpelset, ia jatuh karna ia lemas. Para orang tua tetap membiarkannya, begitu juga teman-temannya yang terus saling berkejaran tanpa melihat Zahra yang saat itu kesakitan. Lututnya sedikit lecet tergores kerikil-kerilil kecil. Dan ia mengubah posisinya dengan melipat kakinya kedepan sambil memandang luka di kaki mungilnya itu. Zahra diam.
Mariam semakin khawatir, ia bingung. Apa ia harus menghampiri Zahra dan menolongnya? Atau ia duduk saja di sisi halaman dengan rasa yakin bahwa Zahra tak apa-apa. Namun perasaan Mariam tetap tidak bisa tenang.
Zahra tiba-tiba tergeletak tidur di rerumputan halaman, menghantam rumput-rumput hijau yang tertiup sedikit angin.
Mariam yang terengah dan kaget langsung menghapiri Zahra mungil dengan meninggalkan kursi rodanya di sisi halaman sana.
Zahra, anak dengan kuncir dua dikepala, terjatuh ketika menghindar dari angin kencang yang menghembuskan rok yang begitu manis dipakainya. Seketika geliat tawa teman-temannya terdengar begitu nyaring di telinganya. Sontak saja ia merasa malu dan menyesal mengapa ia bisa terjatuh. Yang kemudian membuatnya berlari kencang menuju rumahnya yang tak jauh dari halaman kecil yang sengaja dibuat oleh lingkungan setempat untuk anak-anak bermain.
Mariam, begitu panggilan akrab yang biasa digunakan oleh tetangganya. Wanita muda berkulit putih ini nampak serius memperhatikan anaknya, Zahra yang murung sedari pulang bermain bersama teman-temannya. Ia merasa sedikit heran dengan tingkah Zahra yang berubah beberapa hari ini. Umurnya masih 5 tahun, namun ia sudah bisa menampakan kekesalan dan kemarahannya pada semua orang.
“kamu kenapa lagi nak? Ayo cerita sama ibu, apa kamu dijaili teman-temanmu?” tanya Mariam dengan begitu lembutnya.
“ini semua salah ibu!! Harusnya ibu nemenin Zahra main, jadi ibu bisa belain Zahra! Zahra sebal sama ibu!’’ jawab Zahra dengan nada tinggi sambil berlalu ke ruang tengah.
Mariam hanya bisa mengeleng kepalanya. Ia selalu bingung tiap kali zahra marah padanya sedangkan ia sama sekali tak berbuat apa apa. Mungkin tepatnya ia lebih merasa tak bisa berbuat apa-apa untuk zahra.
Setiap paginya Zahra hanya meminta ibunya untuk mengaretkan rambutnya seperti kuncir kuda atau kepang dua pada rambutnya. Tanpa merengek banyak hal yang dipahami Mariam agar Zahra tak merasa kecewa padanya.
Memberikan semangkok bubur ayam dengan bawang gorang tanpa kecap diatasnya. Mariam selalu merasa anaknya adalah yang paling pintar, meski terkadang nakal dan sulit dipahami ia tak pernah meminta siapapun utntuk menyuapinya makan, bocah gembul yang juga hobinya makan selalu semangat setiap kali melihat bubur tersedia untuknya.
Duduk manis di depan televisi sambil menelan bubur favoritnya sampai habis.
Mariam ingat saat beberapa waktu lalu ia menemani anaknya bermain di halaman. Sedikit menyesal setiap kali ia mengingatnya. Betapa ia tahu anaknya kesal dan marah saat ia temani bermain. Padahal hanya itu yang sedari dulu ia inginkan sampai merengeknya hari ini. Tapi tetap saja, apa yang dilakukan Mariam salah dimata Zahra. Mariam lebih senang berdiam diri dirumah, menatap jendela menunggu anaknya pulang bermain dan bisa menyentuhnya kembali sambil sesekali bertanya kisah bermainnya.
Di saat yang sama gurat senyum zahra terlihat begitu alami. Matanya yang sedikit sipit tetap berusaha konsentrasi dengan Tom ang Jerry di televisi, salah satu kartun yang bisa membuatnya tertawa dan lupa dengan kisah bermain dan lainnya.
Dalam lamunannya menuju minggu lalu.
Zahra tampak begitu gembira seperti biasa menghabiskan semangkok bubur yang sudah disediakan mariam pagi itu. Dengan kuncir dua dikepala sambil duduk menghadap layar televisi. Zahra tersenyum dan begitu antusias bercerita tentang kisah bermainnya saat mariam sedang tak ada di rumah. Saat itu pula lah zahra mengajak Mariam pergi ke luar rumah menemuinya dengan teman-teman. Mariam mengira itu ide yang bagus, ia bisa sambil menjemur diri dari rasa dingin yang menginap dalam tubuh lemasnya.
Hanya berdua, hanya Zahra dan Mariam yang tahu. Tubuh mungil Zahra tak sepadan dengan semangat dan kekuatannya saat mendorong kursi yang diduduki Mariam. Ya kursi, kursi roda. Mariam wanita cantik yang seketika lumpuh karena kecerobohannya di kamar mandi dua minggu lalu. Pada akhirnya harus menerima kaki yang sama sekali tak bisa digunakan. Dokter memang tidak mengvonis wanita malang ini akan lumpuh selamanya, namun dokter tak tahu kapan mariam akan pulih dan bisa berjalan kembali. Semua hanya bisa menunggu.
Berjalan menghampiri teman-teman yang sudah mulai berlari saing mengejar di halaman, bersama Mariam yang tetap duduk manis di pangku kursinya. Semakin lama, semakin cepat Zahra berjalan, semakin kencang laju roda yang memtar dibawah kursi serba guna mariam.
“Pelan-pelan nak! Hati-hati nanti jatuh”, tegas Mariam pada Zahra.
Seketika wajah Zahra cemberut bertanda kecewa dengan apa yang didengarnya. Anak manis ini tak suka di bentak dan disalahkan, ia hanya menekuk wajahnya tanpa berbicara pada mariam. Sedikit demi sedikit Zahra pelankan laju rodanya, dengan wajah tanpa senyuman Zahra segera melepas jari tangannya dari pegangan dorongan kursi dan meninggalkan Mariam, ibunya.
Senyumnya kembali terlihat riang saat mika, teman yang juga bermain dihalaman memanggilnya dengan tangan melambai tanda mengajak.
“Zahra!! Cepetan kesini ayoo”, teriak Mika pada Zahra. “Nanti kalo ga cepet cepet kamu yang jadi penjahat. Kamu gak mau kan?” lanjutnya.
Entah mereka beri nama apa untuk permainan ini, mereka semua saling mengejar satu sama lain. Hompimpa untuk mencari tahu siapa prajurit yang akan beraksi mengejar para penjahat nakal yang telah mencuri mahkota dari sang raja. Sang raja yang terpilih dari hompimpah juga memiliki misi yang sulit. Memerintah para prajuritnya yang hebat dan selalu menjaga puterinya yang juga menjadi incaran para penjahat. Tak hanya duduk di kursi kerajaan, ia harus bisa menjaga diri tanpa berharap dapat perlindungan yang lebih dari para prajuritnya, karena jumlah penjahat yang tak lebih banyak dari padanya.
Zahra terpilih menjadi sang putri yang mendapati sebuah mahkota kecil terbuat dari ranting yang diikat melingkar di kepalanya. Dengan hiasan bunga kertas berwarna merah muda membuatnya terlihat lebih manis. Bersama dengan Apik yang kemudian memegang tangan Zahra untuk melindunginya dari penjahat, Apik adalah sang raja yang gelisah tanpa mahkotanya.
Dan permainanpun dimulai. Semua tiba-tiba berlari, saling mengejar dan menghindar. Sang prajurit tak henti-hentinya berusaha menangkap penjahat-penjahat itu. Sedangkan Zahra dan Apik, sang raja hanya duduk menunggu gilirannya beraksi. Disaat mereka terjaga dari kekejaman para penjahat rasa gelisah dan takut tetap menempel pada wajah keduanya. Benar saja salah satu penjahat membuatnya keget dan berlari menghindar dari kejaran penjahat itu. Tangan Apik tak lepas memegang Zahra yang ketakutan. Namun keadaan sulit dikendalikan. Halaman yang tak cukup luas untuk mereka berlari, membuat mereka harus terjebak diantara sudut pagar pembatas halaman.
Tangan Zahra terlepas dari apik. Zahra tertangkap penjahat, dan berteriak. Berusaha melepaskan diri dari para penjahat. Dan berhasil. Sang putri kabur dan meninggalkan sang raja yang terperangkap dalam istana khayalannya.
Berlari dan mencoba bersembunuyi di balik kursi roda Mariam. Ibunya hanya bisa tersenyum geli melihat anaknya bersama anak lain yang nampak pintar bersandiwara. Begitu juga dengan ibu-ibu yang lainnya yang tak bisa berhenti tertawa melihat tingkah laku anak-anak kecil itu.
“Dasar anak-anak. Kecil-kecil sudah pintar acting ya bu”, kata salah satu wanita yang berdiri di sebelah Mariam.
Zahra tetap bersembunyi dibelakang ibunya. Sampai ia melihat Fatir, si penjahat berlari menghampirinya. Zahra kaget dan bingung kemana lagi ia harus berlari. Sampai ia menggeser kursi ibunya untuk mnghalagi Fatir yang mencba menangkapnya. Dorong kanan dorong kiri dan AAAAAA.... penjahat lain membutnya kaget dan tak sengaja mendorong kursi roda ibunya lebih kencang dan terlepas dari genggamannya. Mariam pun ikut kaget dan tak bisa mengendalikan rodanya sampai ia terjatuh ke tanah karena relief halaman yang ia tempati saat itu menurun.
Semua berhenti tertawa, semua berhenti mengejar dan semua kaget.
“Bu mariam gak apa-apa? Mari saya bantu. Biar anak-anak ibu lain yang menjaga. Lebih baik ibu di rumah saja, istirahat yang banyak, biar Zahra saya yang menjaganya bermain”, usul Elis, ibu dari Fathir yang saat itu terlihat sangat khawatir.
Tenggelam dalam bayangan minggu lalunya.
Malam berganti pagi.
Sama seperti basanya. Semangkok bubur dengan bawang goreng tanpa kecap diatasnya. Sebuah televisi yang menyala dan Mariam yang duduk menunggu anaknya keluar dari kamar tidurnya. Lama menunggu Zahra tak juga keluar. Sedang apa ia, selama Mariam di dapur apa Zahra masih memilih baju untuk pergi bermain hari ini? Dasar bocah pintar, untuk bermain saja masalah pakaian lama selasai. Mariam genggam kedua sisi roda dan mendorongnya ke depan, mengarahkan lajunya ke arah kamar zahra. Dan sedikit mengibaskan gorden yang menjadi pembatas antara pkamar dengan ruang tengahnya.
Namun zahra ternyata tak ada disana. Dikamar mandi pun tak ada. Mangkok itu masih tetap di tempatnya. Apa zahra masih marah pada mariam seperti hari kemarin. Atau zahra marah karena mariam tak pernah lagi bisa menemaninya bermain diluar rumah. Atau bubur yang ia buat sudah tak nikmat lagi di lidah bocah gembul itu? Mariam segera pergi keluar rumah untuk mencari Zahra.
Benar saja Zahra sudah mulai permainannya itu. Putri raja lagi, prajurit dan penjahat lagi. Entah berperan sebagai apa ia sekarang. Namun Mariam perhatikan anaknya itu yangsedang berlari mengejar teman-temannya. Sedikit menebak.” Pasti zahra sekarang jadi penjahatnya”, bisik Mariam dalam hati. “Ah jadi apapun Zahra, anakku itu tetap menjadi putri cantik yang aku punya”, katanya lagi dengan sedikit tersenyum.
Terpisah dengan orang tua lainnya yang sedang asik mengobrol di kursi halaman pojok sana. Mariam sendirian, ia tak mau anaknya tahu jika ia mengikutinya bermain. Yang kemudian marah dan meninggalkan ibunya. Sejak kejadian ibunya terjatuh karena Zahra, ia tak mau lagi mengajak ibunya menemani bermain. Zahra tak mau lagi membuat ibunya terluka karna ulahnya. Dan ia tak mau lagi ditemani Mariam. Tanpa ia sadari betapa sepinya bermain tanpa ibunya itu. Membuatnya juga iri dengan teman-temannya yang selalu di temani ibunya yang bebas mereka apakan.
Rasa khawatir tetap menggenang dalam fikirannya. Tak biasanya zahra seperti pagi ini. Zahra tak bisa berlari dengan tenaga seadanya. Dan benar saja, Zahra terjatuh saat berlari mengejar teman-temannya. Tanpa ada yang menolognya Zahra mendapat teriakan tawa dari teman-temannya. Zahra hanya tersenyum. Begitu juga dengan para orang tua yang sedang mengobrol. Mereka menganggapnya hal yang biasa saja.
Tapi tidak, ini tak biasa. Zahra terjatuh bukan karna terpelset, ia jatuh karna ia lemas. Para orang tua tetap membiarkannya, begitu juga teman-temannya yang terus saling berkejaran tanpa melihat Zahra yang saat itu kesakitan. Lututnya sedikit lecet tergores kerikil-kerilil kecil. Dan ia mengubah posisinya dengan melipat kakinya kedepan sambil memandang luka di kaki mungilnya itu. Zahra diam.
Mariam semakin khawatir, ia bingung. Apa ia harus menghampiri Zahra dan menolongnya? Atau ia duduk saja di sisi halaman dengan rasa yakin bahwa Zahra tak apa-apa. Namun perasaan Mariam tetap tidak bisa tenang.
Zahra tiba-tiba tergeletak tidur di rerumputan halaman, menghantam rumput-rumput hijau yang tertiup sedikit angin.
Mariam yang terengah dan kaget langsung menghapiri Zahra mungil dengan meninggalkan kursi rodanya di sisi halaman sana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar